Rabu, 01 Juli 2015

Suami Adik ku

Kisah Mesum Dunia Maya

Pernikahanku dengan Anggoro memang baru seumur jagung, namun karena aku menikah bukan berdasarkan cinta maka pernikahan tersebut terasa semu dan sangat membosankan.

Aku mau menikahi Anggoro karena umurku sudah 35 tahun dan belum menikah. Sebenarnya aku punya banyak pacar namun entah mengapa tak seorangpun dari pacar-pacarku ingin menikahiku. Mereka hanya menginginkan pacaran semata bahkan ada yang sekedar hts-an saja. Itu lho, hubungan tanpa status.

Menurut banyak pria, aku tergolong perempuan cantik dan menarik, mudah bagiku memikat laki-laki. Kalau dijumlah mungkin lebih dari tiga puluh orang pacarku. Itupun yang aku ingat. Entah berapa belas lagi yang tak kuingat.

Anggoro, pernah menikah namun istrinya meninggal tanpa membuahkan anak. Setelah kenalan selama tiga bulan Anggoro meminangku. Kuterima pinangannya karena aku tak ingin dianggap perawan tua, tak laku kawin.

Karena perkenalan yang singkat dan langsung menikah, maka kami belum sempat membentuk komitmen-komitmen dalam rumah tangga. Banyak hal menjadi dasar keributan di kemudian hari.

Seperti contoh, aku tak diberi uang belanja karena Anggoro yang sendiri pergi ke supermarket membeli seluruh keperluan rumah tangga. Alasannya dia yang sudah belanja, jadi buat apa lagi aku pegang uang.

Contoh yang lebih ekstrim, Anggoro tak memperbolehkan aku mencopot foto-foto istri pertamanya yang tertempel didinding rumah, padahal sekarang dia hidup denganku. Setiap tamu yang datang selalu menanyakan foto besar berukuran satu meter yang terpampang di dinding ruang tamu mengabadikan gambar dua orang, yaitu Anggoro dan istri pertamanya. Dia tak memperbolehkanku memasang foto pernikahan kami. Lha aku ini dianggap apa?

Karena Anggoro anak pertama, maka adik-adiknya kerap mampir bertandang ke rumah kami. Salah satu adik Anggoro yang bernama Bimo adalah seorang pria berperawakan sedang, berperut sediikit buncit namun mempunyai penghasilan yang mapan.

Awalnya, ada pernikahan saudara di Lampung yang harus kami hadiri, mendadak Anggoro membatalkan kepergiannya. Dia titip kepada Bimo agar membawaku serta ke acara pernikahan tersebut.

Sebagai adik, tentu saja Bimo mengiyakan perintah kakaknya. Maka malam itu Bimo menjemputku ke rumah dan kami berkendara mobil menuju Lampung.  Setiba di pelabuhan merak Bimo masuk angin dan muntah-muntah.

Setelah memberinya minyak angin dan obat kami meneruskan perjalanan tersebut. Di jalan Bimo kembali muntah-muntah dan suhu tubuhnya meningkat. Tanpa persetujuan Bimo aku langsung berbelok di sebuah penginapan kecil guna beristirahat. Apalagi Bimo nampak semakin sakit.

Aku memesan sebuah kamar karena berniat untuk mengerok badan Bimo. Tak apa-apalah pikirku. Toh aku hanya ingin istirahat sebentar sambil menunggu Bimo tidur agar kesehatannya bisa segera pulih.

Disaat aku mulai mengerok punggung Bimo dengan uang koin yang dioles balsem, mendadak  Bimo membalikkan badan dan menangkap tanganku. Kemudian bangun sesaat dan langsung meraihku. Tentu saja aku menolak karena aku teringat bahwa Bimo adalah adik suamiku.

Namun penolakanku kurang keras karena saat bibir Bimo telah mencapai bibirku, aku malah terhanyut dan membalas ciuman tersebut dengan hangat. Kami berguling-guling di dipan kayu tersebut dan secara bersamaan melucuti pakaian kami masing-masing.  Lalu Bimo dan aku bersetubuh.

Perjalanan ke Lampung kami teruskan, namun perjalanan tersebut kini lebih indah karena sepanjang jalan kami berpegang tangan, saling mengecup, dan sesekali  menepikan mobil untuk berpelukan. Malah beberapa kali Bimo kugoda dengan menyentuh tempat sensitifnya. Bimo teriak minta tambah.

Perselingkuhanku dengan Bimo berlanjut, setiap minggu kami membuat janji temu di sebuah hotel untuk melampiaskan hasrat panas kami. Bimo juga memberi uang dan perhisan-perhiasan untukku.

Setiap malam Bimo mengirimiku pesan pendek yang berisi curahan cintanya untukku, bahkan sesekali kami melakukan sex lewat telephone, apalagi jika Anggoro sedang pergi.

Hingga pagi itu, mendadak Anggoro membuka pintu kamar mandi sambil membawa telpon selulerku. “Perempuan bajingan, main gila kau dengan adik kandungku,” teriak Anggoro disertai tamparan yang membabi buta. Aku tak siap dengan jawaban apapun.

Anggoro sedang membacakan pesan singkat dari Bimo di telepon selulerku yang berbunyi “sayang, aku menikmati permainan seksmu tadi siang, hati-hati dengan cupang di payudaramu”.

Untuk membuktikan pesan singkat tersebut maka Anggoro membuka paksa pintu kamar mandi dan dibuktikanlah bekas kecupan Bimo yang meninggalkan warna merah di payudaraku.  Saat itu juga aku ingin bumi terbelah dan menelanku bulat-bulat.

Anggoro mengusirku dari rumah, aku bersimpuh memohon ampun sekaligus mohon dicerai saja, namum Anggoro menendangku keras hingga aku terguling di lantai. Bimo juga mohon ampun kepada kakak kandungnya sekaligus memohonkan ampun bagiku juga.

“Aku ampuni dan maafkan kalian, namun aku tak akan menceraikanmu hingga aku mati, jika Bimo ingin menikahimu tunggu hingga kematianku tiba,” ungkapnya terbata-bata.

Kini aku tetap hidup bersama Anggoro, namun sejak kejadian itu aku tak disentuhnya. Dia juga tak memberiku ijin untuk keluar rumah.

Pekerjaanku hanya memasak, menyapu, membersihkan rumah dan nonton televisi. Sudah dua tahun ini aku tak membeli baju baru karena Anggoro tak pernah memberi uang.  Aku diperlakukan bagai babu tak bergaji di rumahku sendiri. Bimo? entah kemana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar